22 Mar 2015
19 Mei 2014
pendidikan karakter di pesantren
PENDIDIKAN KARAKTER DI PESANTREN
globalisasi ini banyak sekali kesenjangan
sosial yang terjadi di masyarakat rata-rata pelaku kesenjangan sosial itu sendiri adalah pemuda. Data membuktikan lebih dari setengah dari jumlah
pemuda di Indonesia pernah melakukan suatu tindakan kriminal, mulai dari
perkelahian, pencopetan, pencurian, pemerkosaan, sampai pembunuhan. Apakah penyebab semua itu? Padahal pemuda di zaman sekarang adalah penerus di zaman
yang akan datang. Akan jadi apa negara ini jika mereka seperti itu?
Banyak alasan mengapa mereka bertindak demikian. Di
antaranya, karena kuranganya pendidikan karakter yang di ajarkan kepadanya. Oleh sebab itu,
begitu penting pendidikan karakter sejak
dini untuk para pemuda. Pendidikan
karakter merupakan pendidikan kepribadian(moral). Karena melihat semakin
merosotnya moral bangsa ini maka pendidikan karakter dipandang penting. Pondok Pesantren merupakan wadah
untuk memperoleh pendidikan karakter yang paling bagus. Dengan
alasan, di Pondok Pesantren mereka akan selalu terawasi 24 jam. Mulai dari bagun tidur sampai tidur
lagi, dan semua tingkah lakunya juga tak akan luput dari pengawasan. di Pondok
pula mereka akan belajar hidup mandiri yang biasanya mereka selalu di bantu
orang tua sekarang mereka harus melakukan sendiri mulai dari mencuci baju, makan,
sampai menata baju. Jika tidak di biasakan seperti itu, maka mereka akan
menjadi anak manja. yang akan berdampak buruk bagi kehidupan dewasanya
nanti. sekarang bisa kita perbandingakan antara pemuda yang pernah menempuh
pendidikan di pondok pesantren dengan pemuda yang tidak pernah tersentuh agama
sama sekali. Pasti persentasinya kenakalanya 85%
di banding 15% sangat jauh bukan. Mulai sekarang kita harus berfikir tentang
pendidikan anak-anak kita dan termasuk diri kita sendir
Di
zaman sekarang banyak sekali pemuda yang cerdas tetapi kecerdasannya itu tidak
di imbangi dengan akhlakul karimah(kepribadian yang baik). Karena sawaktu
mereka di sekolah tidak pernah mendapat pelajarn tentang akhlakul karimah(kepribadian
yang baik). mereka hanya di gembleng dengan ilmu-ilmu umum tanpa ada
ilmu agama yang mencukupi. kadang ada pelajaran agama tetapi satu minggu hanya
satu kali. akhirnya mereka lebih mamahami ilmu-ilmu umum dan meninggalkan ilmu
Agama. Memang di zaman sekarang ini kita harus bisa menguasai displin ilmu
umum agar kita tidak tertinggal. Akan tetapi
kalau kita tidak mengimbaginya dengan ilmu Agama itu seperti kita makan nasi
tetapi tidak minum air maka kita akan tersendat
dan mati. Begitu pula pemuda yang hanya belajar
ilmu umum tanpa ilmu agama, lama-lama dia akan mati. dalam artian dia tidak
mempunyai benteng untuk menolak suatu kebiasaan yang buruk. Jika sudah begitu
jangan salahkan anak kita bila nakal, karena itu kesalahan kita, yang tidak bisa memilihkan tempat belajar yang baik. Sekarang
kita renungkan, jika kita mempunyai dua anak yang pertama dia cerdas. Tetapi,
ahklaknya buruk. dan yang kedua dia tidak cerdas tetapi dia mempunyai sopan
santun dengan anda dan orang lain. Maka anda sebagai manusia normal manakah
yang anda senangi, pasti anak yang kedua. Maka begitu pentingnya belajar
agama itu. di zaman sekarang sudah banyak Pondok Pesantren yang memiliki pendidikan
formal. Selain mereka akan diberi ilmu-ilmu umum, mereka juga akan dibentegi
dengan ilmu-ilmu agama yang memedahi. di pondok pesantren yang seperti inilah anak
akan mendapatkan kedua-duanya mereka bisa belajar Agama dan disiplin ilmu umum.
10 Mei 2014
Quo Vadis Alumni Sarang, Tela’ah Atas Fleksibilitas Kiprah Lulusan Pesantren
Quo Vadis Alumni Sarang, Tela’ah Atas Fleksibilitas Kiprah Lulusan Pesantren
Salah satu halaman buku memori alumni Ghozaliyah angkatan 1991 memuat gambar karikatur yang menggelitik. Dalam karikatur tersebut digambarkan seseorang yang bersarung dan berpeci khas santri sedang memandangi berbagai papan petunjuk arah dengan roman muka yang menyiratkan kebingungan. Ke manakah selepas dari pesantren? Begitulah kira-kira maksud karikatur tersebut.
Ini bukan problem khas pesantren. Hampir seluruh lulusan lembaga pendidikan menghadapi persoalan ini. Persoalan dimana seseorang berada di persimpangan jalan dan harus menentukan pilihan, kearah manakah ia harus melangkah. Banyak orang yang diliputi kecemasan saat menjelang boyong. Kecemasan ini umumnya dilatarbelakangi perasaan bahwa dirinya belum siap mengarungi kehidupan yang berbeda.
Pertanyaan yang kemudian mucul adalah benarkah santri dicetak untuk “tidak siap” mengarungi kehidupan yang berbeda? Pasti semua orang menjawab “tidak”. Lalu problem apakah yang membuat santri sulit menentukan sikap pasca boyong? Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita menghitung potensi dan kelemahan yang dimiliki santri
Antara Pesimisme dan Optimisme
Tidak sedikit kalangan di luar pesantren salaf yang mengkhawatirkan masa depan santri : bisa kerja apa mereka, mau kerja apa mereka, mau berkarir dimana mereka, dan setumpuk pertanyaan lain yang bernada cemas.
Kecemasan mereka bukan tanpa alasan. Setidaknya ada dua fakta yang mendukung kecamasan tersebut. Pertama, persoalan ijasah formal. Dunia moderen cenderung mengukur kemampuan seseorang berdasarkan bukti formal, yaitu ijasah. Untuk menjadi kepala desa, bahkan untuk menjadimodin saja seseorang dituntut menunjukkan ijasah formal, apalagi jabatan formal lain yang lebih bergengsi.
Sementara pendidikan seperti di pesantren Sarang sampai saat ini masih diposisikan sebagai tidak memiliki efek strata formal. Jadi, setinggi apapun seseorang belajar di pesantren, sepanjang ia tidak pernah sekolah formal, maka ia dianggap belum pernah sekolah. Dengan kata lain sengalim apapun seorang santri, jika ia hanya memiliki ijasah formal SD, maka ia dianggap hanya lulusan SD.
Dan faktanya persoalan ijasah telah mengendala banyak teman alumni dalam menapaki jenjang karir formal. Yang lebih ironis, beberapa alumni yang beruntung memiliki sekolah formal tidak beruntung bisa menjadi kepala sekolah di sekolahnya sendiri, karena terkendala ijasah.
Alasan kedua, spesifikasi keahlian yang dimiliki para lulusan pesantren salaf dianggap hanya cocok untuk menangani ritual keagamaan pada lingkup yang sangat terbatas, seperti ngimami tahlil, yasin dan manaqib. Santri dianggap tidak bisa berorganisasi, tidak bisa berperan aktif dalam masyarakat, bahkan tidak bisa nyambut gawe di sektor informal sekalipun. Pendeknya, santri dianggap tidak tahu urusan dunia.
Faktanya, banyak dijumpai lulusan pesantren salaf yang canggung memasuki dunia kerja, kalah bersaing dengan lulusan almamater lain, termasuk dalam hal menjadi takmir masjid. Jika saja urusan tahlil, yasinan dan manaqiban memerlukan manajemen formal, tidak mustahil lulusan pesantren salaf akan tersingkir.
Pada kutub yang berseberangan beberapa kalangan merasa over convident dengan masa depan santri. Santri dianggap memiliki flekibilitas yang memungkinkannya memasuki berbagai jenjang karir yang diinginkannya. Ada tiga alasan yang melatarbelakangi sikap over convident tersebut.
Pertama, pada umumnya santri tidak terlalu bergantung pada kemapanan sistem. Kalau sistem tidak memberikan peluang karir, maka santri tidak pernah kehabisan akal untuk menciptakannya. Ketika sebuah peluang menuntut adanya ijasah formal, “tiba-tiba” santri juga bisa memiliki ijasah formal.
Kedua, santri sudah terlatih untuk tetap menggeliat di tengah tekanan berbagai kesulitan. Keadaan ini pada gilirannya membentuk karakter mandiri yang kokoh. Selepas dari pesantren banyak dijumpai santri yang membangun karir benar-benar dari nol dan berujung sukses.
Ketiga, pada dasarnya santri memiliki bekal kemampuan yang memadai untuk dapat berkiprah di bidangnya. Di perguruan tinggi agama, tidak sedikit santri yang menjadi the best, meskipun proses awalnya bisa jadi terseok-seok karena kendala ijasah atau adaptasi lingkungan.
Mari kita lihat fakta berikut.
Ternyata Mereka Alumni Sarang
Seorang kawan pernah bercerita, setiap kali mengikuti bahtsul masa’il di tingkat Jawa Tengah suasananya seperti reuni alumni Sarang. Di Tuban sendiri Lembaga Bahtsul Masa’il NU menjadi sarang para alumni Sarang. Karena nyaris seluruh anggota lembaga tersebut merupakan jebolan pondok Sarang. Dan ketika suatu kali mengikuti Muskerwil NU Jatim, saya bertemu beberapa alumni Sarang yang menjadi delegasi cabang.
Membanggakan, tetapi bisa jadi dianggap lumrah, karena basic pendidikan di Sarang memang memungkinkan terjadinya mobilitas vertikal di lingkungan NU. Tetapi simak yang berikut ini.
Ketika pada tahun 2005 kehidupan rumah tangga Tamara Blezinky banyak mendapat sorotan media, saya termasuk orang yang antusias menyaksikan tayangannya di televisi. Bukan karena saya meminati berita Tamara, tetapi karena salah satu pengacara Rafli, suami Tamara, pernah menjadi nama beken di telinga saya. Ia bernama Muslih, M.Hum, salah seorang jebolan Ghozaliyah yang sering dipercaya menjadi ro’is kelas semasa menjadi siswa.
Sebuah buku setebal 300 halaman berjudul “Komisi Yudisial & Reformasi Peradklan” menarik perhatian saya. Bukan karena saya tertarik dengan tema hukum atau kemasan bukunya yang lux, tetapi karena nama pengarangnya adalah A. Ahsin Thohari. Tulisan Ahsin juga sering dimuat di koran Kompas dan saya tertatik membacanya bukan karena Ahsin selalu menulis tema-tema hukum, tetapi karena ia saya kenal sebagai alumnus Ghozaliyah yang pernah dipercaya sebagai ro’is Taqrib.
Suatu kali di Gramedia saya pernah menimang-nimang buku bertema agama. Saya memang tertarik dengan tema yang disajikan buku itu. Tetapi yang membuat saya berlama-lama memegang buku itu adalah karena salah satu kontributornya bernama Ridlwan Hambali, seorang alumnus Ghozaliyah yang menjadi pelanggan ro’is kelas dan pernah menjabat ro’is Taqrib. Bahkan Ridlwan kini telah menyelesaikan program doktornya di Universitas Kebangsaan Malaysia.
Seorang kandidat doktor Universitas Al-Azhar Cairo tercatat sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi negeri di Kudus. Sebuah prestasi yang gemerlap. Yang membuat saya terkesiap adalah, orang tersebut bernama Abdul Ghofur, alumnus Ghozaliyah yang pernah menduduki jabatan ketua Demu dua periode berturut-turut.
Ketika mengurus suatu keperluan di salah satu perguruan tinggi negeri di Semarang, saya sempat berpapasan dengan wajah yang sepertinya tidak asing. Ia seorang Kepala Jurusan, suatu jabatan prestisius di perguruan tinggi. Setelah ngobrol dengannya, saya tahu bahwa ia adalah Muthohar, mitra debat saya semasa menjadi siswa di Ghozaliyah.
Di koran Solo Pos ada sebuah nama yang sering menghiasi halaman artikel. Ia bernama Tsalits Muttaqin dan dalam identitas penulis disebutkan bahwa ia Alumnus Pondok Pesantren Sarang. Saya mengenalnya sebagai aktivis Demu semasa menjadi siswa di Ghozaliyah. Dan kini ia menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi negeri di Solo.
Sebuah bank syari’ah di Jakarta pernah memiliki seorang konsultan yang ternyata juga pernah mengenyam dampar lesehan Ghozaliayh. Ia bernama Faishol dan menyelesaikan program magisternya di Universitas Kebangsaan Malaysia.
Di Kalimantan Timur seorang mantan aktivis Demu semasa menjadi siswa di Ghozaliyah menjabat sebagai salah satu direktur koperasi milik sebuah BUMN.
Saya masih menyimpan beberapa nama alumni Sarang yang patut dibanggakan. Tetapi cukuplah sederet nama di atas mewakili keberagaman karir Alumni Sarang. Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana kaum santri bersarung yang acap di pandang sebelah mata dapat melakukan penetrasi bahkan di luar habitatnya.
Mengemas Potensi
Hal yang tidak bisa dipungkiri adalah bahwa santri merupakan kader da’i yang merepresentasikan kelompok Islam tradisional. Saya sebut sebagai kader da’i karena pada dasarnya tugas tafaquh fiddininheren dengan amanat indzaru qoumihim. Oleh karena itu bagi seorang santri membekali diri dengan nyali dan kemampuan berdakwah adalah hal niscaya. Kemampuan berdakwah yang saya maksud di sini bukanlah kemampuan untuk berpidato, melainkan kemampuan seseorang untuk berkomunikasi dan bersosialisai dengan lingkungan masarakat yang di hadapi sesuai dengan karakter masyarakat tersebut.
Sudah barang tentu, tiap masyarakat memiliki karakternya sendiri yang berbeda dari masyarakat lain. Dan karenanya bekal kemampuan berkomunikasi yang harus dimiliki masing-masing santri tentu juga berbeda. Menghadapi masyarakat perkotaan yang umumnya berpendidikan dan cenderung berpikir rasional, tentu berbeda dengan masyarakat pedesaan yang umumnya mempercayai mistisisme. Berkiprah di lingkungan akademis yang masyarakatnya cenderung bersikap egaliter tentu berbeda dengan mengasuh pesantren yang masyarakatnya cenderung bersikap feodal. Mengajar di sekolah kurikulum yang bersifat formal tentu berbeda dengan mengajar majlis taklim yang bersifat informal.
Jadi, tafaqquh fiddin adalah potensi substansial yang harus dikemas sesuai selera lingkungan yang dihadapi agar proses indzar dapat menuai sukses seperti yang diinginkan. Di sinilah santri dituntut bekerja keras dan jeli menentukan jenis kemasan. Sebab pesantren telah bekerja keras menyediakan sarana tafaqquh fiddin, untuk kemudian menyerahkan sepenuhnya kepada santri untuk menentukan dan mencari jenis kemasan yang sesuai.
Harus disadari pula bahwa sejatinya proses akhir bertafaqquh fiddin di pesantren bukanlah akhir proses.Tafaqquh dan indzar merupakan proses yang berkelanjutan dan berkesinambungan bahkan selalu mengalami perkembangan dari masa ke masa. Dengan kata lain lulusan pesantren tidak seyogyanya dipandang sebagai produk instan yang siap konsumsi. Lulusan pesantren adalah produk multi purposeyang memerlukan sentuhan akhir dan siap dikembangkan kapan saja.
Dengan cara pandang seperti inilah asumsi bahwa lulusan pesantren memiliki tingkat fleksibilitas yang tinggi menemukan kebenarannya. Dan pada saat yang sama cara pandang seperti ini juga akan menepis pesimisme sebagian kalangan. Dan keberhasilan beberapa alumni yang saya sebut diatas tidak terlepas dari kejelian mereka dalam menentukan kemasan indzar dan kearifan mereka dalam menempatkan diri sebagai produk multipurpose.
Tetapi mengapa di sisi lain ditemukan pula fakta yang mendukung pesimisme sebagian kalangan? Untuk menjawab hal ini, perlu diurai hal-hal yang mungkin dapat menegasikan premis fleksibilitas.
Salah Identifikasi
Biasanya santri senior yang sudah menjadi ustadz mendapatkan perlakuan istimewa dari santri yunior. Cuci pakaian dikerjakan muridnya; tempat tidur disediakan khusus yang tidak lazim di tempati santri lain; perintahnya untuk kepentingan pribadi sekalipun di patuhi; setiap berpapasan dengan santri yunior selalu mendapatkan perilaku ta’dhim. Pendeknya, santri yang sudah berstatus ustadz mendapat status sosial yang tinggi.
Setelah boyong belum tentu ia mendapatkan status sosial yang sama. Bagi yang punya pesantren atau orang tuanya merupakan tokoh masyarakat, status sosial yang tinggi mungkin masih didapatkan. Tetapi santri lain yang tidak semujur itu, mungkin tidak mendapat perlakuan istimewa seperti ketika ia masih di pesantren.
Dari sinilah problem itu bermula. Apa yang selama ini diyakini dan dirasakan santri sebagai sesuatu yang harus terjadi, ternyata tidak berbanding lurus dengan realitas di masyarakat. Masyarakat seharusnyanggugu dan ta’dhim pada kyai, tetapi kenyataannya di banyak tempat masyarakat justru acuh tak acuh terhadap kyai dan memposisikan kyai sebagai sebuah profesi yang cukup diapresiasi dengan materi, layaknya profesi lain.
Keadaan semacam ini rawan menimbulkan perasaan shock, minder dan frustasi. Pada gilirannya persoalan ini dapat memunculkan sikap apatis santri terhadap urusan masyarakat dan cenderung membuat sekat exclusive yang terpisah dari kehidupan masyarakat. Dan ketika seorang santri gagal melakukan proses adaptasi yang sehat, maka sudah pasti amanat indzar akan terabaikan. Bagaimana mau indzar qoumihim, jika sekat exclusive berdiri tegak sebagai batas tegas yang memisahkanmutafaqqih fiddin dari kehidupan qoumihim.
Oleh karena itu perubahan atmosfir dari kehidupan pesantren yang berkultur santri menuju kehidupan masyarakat yang tidak berkultur santri bisa menjadi ancaman bagi proses indzar yang diemban santri. Untuk mengatasi ancaman semacam itu, seorang santri seyogyanya dapat memposisikan diri secara proporsional dalam kehidupan masyarakat tanpa harus kehilangan haibah sebagai tokoh agama. Buktikan dengan berbuat bahwa tokoh agama layak mendapat apresiasi sebagaimana tokoh-tokoh lain dalam masayarakat tersebut.
Salah identifikasi juga bisa terjadi ketika seseorang menerapkan konsep muru’ahi secara berlebihan. Semasa di pesantren umumnya santri tidak pernah berpikir tentang ma’isyah. Dan kebetulan santri juga melihat dengan mata kepala sendiri bahwa kiainya juga tidak pernah blusukan di pasar atau mengankat cangkul, tetapi mai’syahnya tetap terpenuhi.
Hal ini bisa jadi mempengaruhi pola pikir santri dalam memandang persoalan kerja. Nunggoni toko,kulakan di pasar, macul adalah hal-hal yang tidak pantas dilakukan oleh seorang yang menganggap diri sebagai kyai. Bahkan mungkin berkembang anggapan bahwa bekerja itu tidak selayaknya di lakukan oleh seorang kyai.
Persepsi semacam ini bisa mengancam keberlangsungan tugas indzar yang diemban oleh seorang santri. Sebab pada dasarnya tugas indzar tidak bisa dipandang sebagai profesi atau pekerjaan yang bisa mencukupi kebutuhan. Indzar adalah satu hal dan maisyah adalah hal lain yang harus dipandang sebagai dua kewajiban berbeda dan dilakukan bersama-sama.
Tabu-Tabu Pesantren
Ketika di pesantren, saya mengalami masa di mana hal-hal yang menurut saya positif dianggap tabu. Melanjutkan kuliah tabu; memburu ijasah formal tabu; mempelajarai kitabnya doktor tabu; mempelajari ilmu umum yang bersifat teknis tabu. Dan ketika hal-hal tersebut dilakukan maka nilai kesalafan akan diangap luntur. Saat itu kesalafan diukur berdasarkan kesesuaian dengan pola belajar yang dilakukan para ulama di masa lalu. Tidak ada sekolah formal, tidak ada ijasah, ilmu teknis yang masih sederhana dan tidak perlu dipejarai secara khusus.
Jika tabu-tabu itu hanya mentradisi pada saat santri masih aktif di pesantren, tentu bukan persoalan. Akan mejadi janggal jika santri sudah boyong tetapi masih menganggap tabu melanjutkan kuliah atau memburu ijasah formal. Sebab sasaran indzar santri tidak melulu masyarakat yang berkulutr santri. Jika tugas indzar memposisikan santri untuk menduduki jabatan formal, maka sudah sepatutnya santri melengkapi diri dengan persyaratan formal yang diperlukan.
Suatu saat saya pernah bertemu seorang rekan alumni. Saat itu ia menjadi guru di sekolah kurikulum. Berkali-kali ia mengusulkan agar pelajaran yang bernuansa salaf dimasukkan dalam kurikulum. Dan berkali-kali pula usulan itu ditolak oleh kepala sekolah atau diterima tetapi tidak dilaksanakan dengan sunguh-sungguh. Secara potensial rekan alumni ini mampu menduduki jabatan kepala sekolah. Tetapi kendalanya, secara formal ia tidak memenuhi persyaratan karena ia tidak memiliki ijasah S1.
Saya potong cerita ini dan saya mengajukan pertanyaan, dalam kondisi semacam ini masihkah mendapatkan ijasah formal dianggap sebagai sesuatu yang tabu? Jawabannya berpulang kepada kearifan kita masing-masing dalam menyikapi keadaan. Dan rekan alumni tadi menjawabnya dengan “tidak”. Ia berpendapat bahwa ijasah formal adalah persoalan bentuk. Sedangkan memasukkan muatan pelajaran salaf adalah substansi. Jadi, sangat tidak bijak jika hal yang bersifat substansial harus terabaikan karena persoalan formal.
Saya menilai keberhasilan HTI dan PKS membina kader di sekolah-sekolah formal, mulai dari tingkat Pendidikan Usia Dini hingga perguruan tinggi, tidak terlepas dari kesiapan formal dan substansial yang mereka miliki. Dan ketika hal ini terjadi umumnya kita hanya bisa geram dan meratapi keadaan tanpa melakukan instropeksi ataupun evaluasi.
Bukan hanya persoalan kelengkapan formal, banyak kemampuan teknis yang dianggap tabu tetapi diperlukan bahkan menjadi syarat kecakapan dalam menjalankan fungsi indzar. Sudah sering kalangan santri merasa geram atas berbagai tulisan yang muncul di media. Tetapi hanya geram dan nggremengyang bisa dilakukan. Mengapa? Sebab untuk menanggapi tulisan diperlukan kemampuan menulis. Dan menulis memerlukan kecakapan yang salah satunya adalah perbendaharaan kosakata. Bagaimana bisa memiliki perbendaharaan kata, jika membaca buku yang berbahasa Indonesia dianggap tabu.
Kesimpulan
Pesantren salaf seperti Sarang ibarat pabrik yang memproduksi bahan baku berkualitas, higienis dan yang pasti halal untuk berbagai keperluan bagi berbagai segmen masyarakat. Proses finishingnya sendiri hingga menjadi bahan siap konsumsi dilakukan secara terpisah di luar pesantren dan di sesuaikan dengan kondisi konsumen. Dan apapun bentuknya, proses finishing harus selalu mengacu kepada fungsiindzar yang menjadi tujuan diciptakannya bahan baku tersebut. Itulah makna fleksibilitas lulusan pesantren yang didasarkan pada prinsip tafaqquh dan indzar sebagaimana saya pahami.
Pemahaman semacam ini akan mudah diimplementasikan jika ancaman potensial yang dapat membunuh karakter fleksibilitas lulusan pesantren berhasil diatasi. Setidaknya ada dua ancaman potensial. Pertama, kesalahan mengindentifikasi diri. Yang perlu ditekankan untuk mengatasi hal ini adalah bahwa status sosial yang pernah dinikmati semasa nyantri belum tentu berbanding lurus dengan status sosial yang akan diterimanya setelah boyong. Dalam hal ini kemampuan beradaptasi secara sehat dan proporsional mutlak diperlukan.
Kedua, tabu-tabu yang selama ini berkembang di kalangan santri terkait persoalan skill dan kelengkapan formal harus disikapi secara arif sesuai situasi yang dihadapi. Persoalan substansial, seperti menyebarkan dan menyuarakan ajaran salaf, harus ditempatkan di atas persoalan formal.
Dengan demikian, makna fleksibilitas lulusan pesantren dapat diterapkan di berbagai bidang keahlian dan di berbagai segmen masyarakat.©Tambakboyo, 20 Juli 2009
Oleh : Najib Bukhori, Lc.
DUA GOLONGAN YANG DISELAMATKAN DARI 'UJUB
Oleh : KH. Ahmad Wafi Maimoen
Kedua golongan ini telah dijaga oleh Allah dari mengandalkan amal ibadah dan ketaatannya. Mereka tidak menjadikannya sebagai ukuran dan tameng yang melindungi dirinya dari siksa. Sebaliknya, mereka memandang bahwa amal ibadah mereka yang sedikit itu tidak berharga sama sekali untuk dijadikan sebagai sesuatu yang diandalkan dalam menggapai angan-angannya.
قطع السائرين له و الواصلين إليه عن رؤية أعمالهم وشهود أحوالهم. أما السائرون فلأنهم لم يتحققوا الصدق
مع الله فيها. وأما الواصلون فلأنه غيّبهم بشهوده عنها.
"Allah mencegah orang yang menuju kepada-Nya dan orang yang telah wushul untuk memandang amalnya masing-masing dan memperhatikan haliyahnya. Hal ini dikarenakan, orang yang (berjalan) menuju kepada-Nya tidak merasa bersungguh-sungguh terhadap Allah dalam amal ibadahnya, dan orang yang telah wushul kepada Allah, diri mereka tenggelam dalam sikap musyahadah dengan Allah, (sehingga) melupakan amal ibadahnya sendiri."
Yang dimaksud dengan orang yang telah wushul kepada Allah adalah orang yang menempuh perjalanan panjang dan melelahkan dalam usaha membersihkan diri (tazkiyatun nufus), sehingga hilanglah kekebalannya dan lenyap segala macam hawa nafsu. Dan mata batin mereka menjadi terang, hanya melihat Dzat yang menciptakan dan yang menciptakan sebab. Merekalah yang disebut dengan al-washilin. Karena sebelumnya diri mereka tertutup oleh hijab yang berupa hawa nafsu dan kebodohan yang menghalangi mereka dari Allah, dan setelah hijab tersebut hilang dan bebas dari penjara nafsu, mereka bisa sampai kepada Allah tanpa ada halangan apapun.
Adapun orang yang berjalan menuju kepada-Nya, mereka adalah orang yang beriman dan ikhlas dalam beramal, melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya, dan berusaha sekuat tenaga untuk membersihkan jiwa dari kotoran-kotoran yang mengganggunya.
Kedua golongan ini telah dijaga oleh Allah dari mengandalkan amal ibadah dan ketaatannya. Mereka tidak menjadikannya sebagai ukuran dan tameng yang melindungi dirinya dari siksa. Sebaliknya, mereka memandang bahwa amal ibadah mereka yang sedikit itu tidak berharga sama sekali untuk dijadikan sebagai sesuatu yang diandalkan dalam menggapai angan-angannya.
Golongan yang pertama, yaitu orang-orang yang berjalan di jalan Allah, bisa mempunyai haliyah yang demikian, yakni tidak memandang amal ibadahnya dan mengandalkannya, dikarenakan mereka, pada saat perjalanannya dalam membersihkan jiwa, merasa belum maksimal dalam beribadah, serta yakin bahwa amal ibadah dan ketaatan mereka tidak akan selamat dari cipratan penyakit-penyakit hati. Serta merasa bahwa amal ibadah mereka tidak pantas untuk dipersembahkan kepada Allah dan mengharapkan pahala. Seandainya kita mau merenung sejenak, kita akan menemukan kenyataan bahwa amal dan taat yang kita kerjakan selalu dipenuhi dengan segala macam aib dan penyakit serta banyak sekali kekurangannya. Memang, sebagian di antara kita mungkin ada yang berkata, "Saya yakin, jika amal ibadah dan ketaatan saya itu tidak terkena penyakit-penyakit hati yang tercela. Setelah saya memperhatikan, saya berkesimpulan bahwa amal ibadah saya terbebas dari berbagai macam afat dan kecacatan, karena saya mengerjakannya sesuai dengan apa telah yang diperintahkan." Ketahuilah, bahwa ucapan seperti ini justru merupakan aib dan penyakit tersendiri. Penyakit ini dinamakan 'ujub (membanggakan diri sendiri), yang bisa melenyapkan pahala ibadah dengan cepat.
Di antara hikmah diciptakannya manusia dalam keadaan lemah, adalah supaya kelemahannya itu membungkam mulut orang yang memamerkan dan membanggakan bahwa dia telah menunaikan hak-hak Allah dengan sempurna tanpa cacat. Dengan kelemahan yang tidak bisa dilepaskan dari dirinya itu, dia tidak akan bisa untuk membanggakan dirinya lagi.
Adapun golongan kedua, yaitu golongan yang disebut oleh Imam Ibnu 'Athoillah dengan al-washil ilallah (yang telah sampai kepada Allah). Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa mereka tidak memperhatikan amalan-amalan yang telah mereka kerjakan, tidak membanggakan diri dengan ibadahnya, dikarenakan pikiran dan jiwa mereka telah tenggelam dalam kekhusyukan beribadah. Mereka tidak sempat memikirkan dan memperhatikan keadaan (haliyah) diri mereka. Perlu diketahui, bahwa tak seorang pun dari hamba-hamba Allah yang saleh yang mengetahui bahwa diri mereka itu termasuk golongan al-washil ilallah. Karena memang keadaan manusia itu, setiap bertambahnya kedekatan dan ma'rifat terhadap Allah, bertambah pula kecurigaannya terhadap diri dan nafsunya dan semakin terbukalah semua kekurangan dan kelalaiannya. Jika halnya demikian, bagaimana mungkin mereka para hamba Allah yang saleh dapat merasa bahwa dirinya termasuk golongan ini.
Walaupun mereka tidak mengetahui keadaan diri mereka sendiri, namun hal itu tidak menafikan bahwa mereka tidak bisa dikenali sama sekali. Ada ciri yang bisa digunakan mengetahui hal ini, yaitu seperti yang dikatakan Imam Ibnu 'Athoillah, mereka tenggelam dalam bermusyahadah dengan Allah yang tidak pernah putus. Sehingga hal ini menyebabkan mereka tidak sempat melihat dan menyaksikan amal ibadah dan kelebihan mereka, apalagi sampai membanggakan dirinya dengan hal-hal tersebut.
Orang-orang golongan ini selalu beramal sesuai dengan ketentuan syariat, memfokuskan segenap kemampuannya untuk membersihkan jiwa dari penyakit-penyakit yang tak terlihat, seperti hasud, sombong, cinta dunia, dan sebagainya. Mereka menyibukkan seluruh waktunya hanya untuk mengingat Allah. Jika keadaannya demikian, bagaimana mungkin mereka mengalihkan perhatiannya dari Allah dengan menghitung-hitung amal ibadah yang dikerjakan, sedangkan mereka menenggelamkan diri mereka dalam sikap musyahadah dengan Allah. Orang yang tidak termasuk dari dua golongan ini, yaitu mereka yang selalu menghitung-hitung amal yang mereka persembahkan kepada Allah, telah melakukan satu macam dari syirik khofi yang paling jelek.
Adapun yang dimaksud dengan ahwal dalam kalimat Ibnu Athoillah di atas adalah keadaan yang dialami oleh seorang salik, berupa kondisi dan perubahan yang menunjukkan akan bersih dan cemerlangnya keadaan diri salik. Seperti rasa khosyyah (takut), khusyu' dalam salat, berdoa dan munajat, bertambahnya rasa pasrah terhadap Allah, rasa tawakkal, rido dengan takdir, dan timbulnya keramat dan keanehan dalam dirinya. Sifat-sifat ini merupakan kondisi emosional yang dialami seorang salik, yang menunjukkan akan bagus dan terpujinya haliyahnya. Dia terkadang lama mengalami kondisi ini, kadang juga singkat. Tapi jika seseorang gembira dengan keadaannya itu dan mementingkannya, serta menganggapnya sebagai tanda bahwa dirinya telah mencapai derajat yang mulia, maka sesungguhnya hal tersebut merupakan kecelakaan dan menariknya dalam kubangan kejelekan.
Penulis: KH. Muhammad Wafi MZ. Lc, MSI
KH. Ahmad Wafi Maimoen
KH. Muhammad Wafi Maimoen (Putra Ketujuh)
Gus Wafi -demikian dipanggil- adalah putra keempat dari pasangan KH Maimoen Zubair dan Nyai Hj. Masthi’ah. Beliau lahir pada tanggal 15 Maret 1977 M. di Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Beliau mengenyam bimbingan agama sejak kecil melalui sang ayah dan para guru di Madrasah Ghozaliyyah Syafi'iyyah. Wafi kecil tumbuh dengan dengan budi pekerti yang baik dan memiliki kepedulian keilmuan yang tinggi.
Setelah lulus dari Madrasah Ghozaliyyah Syafi'iyyah (MGS) -pada tahun 1998 M- beliau mengais ilmu di Universitas Al Fattah Al Islamiy Damaskus, sebuah Universitas terkemuka di Syiria. Di sana beliau mendapat "sentuhan tangan dingin" DR Sa’id Romdhon Al Buthiy, DR Wahbah Az Zuhailiy dan dosen-dosen senior di bidangnya. Selanjutnya -setelah menyelesaikan jenjang pendidikan 4 tahun di Syiria, beliau meneruskan studinya di Universitas Zamalik, kota tua Kairo, Mesir.
Beliau kembali ke Sarang pada tahun 2004 M dengan semangat yang membara dan ide-ide yang brilian, beliau ikut membantu meningkatkan mutu pendidikan di Sarang, khususnya Ma'had Al Anwar tercinta. Saat ini beliau mengajar di kelas Muhadhoroh dengan fann ilmu Tarikh.
Gus Wafi -demikian dipanggil- adalah putra keempat dari pasangan KH Maimoen Zubair dan Nyai Hj. Masthi’ah. Beliau lahir pada tanggal 15 Maret 1977 M. di Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Beliau mengenyam bimbingan agama sejak kecil melalui sang ayah dan para guru di Madrasah Ghozaliyyah Syafi'iyyah. Wafi kecil tumbuh dengan dengan budi pekerti yang baik dan memiliki kepedulian keilmuan yang tinggi.
Setelah lulus dari Madrasah Ghozaliyyah Syafi'iyyah (MGS) -pada tahun 1998 M- beliau mengais ilmu di Universitas Al Fattah Al Islamiy Damaskus, sebuah Universitas terkemuka di Syiria. Di sana beliau mendapat "sentuhan tangan dingin" DR Sa’id Romdhon Al Buthiy, DR Wahbah Az Zuhailiy dan dosen-dosen senior di bidangnya. Selanjutnya -setelah menyelesaikan jenjang pendidikan 4 tahun di Syiria, beliau meneruskan studinya di Universitas Zamalik, kota tua Kairo, Mesir.
Beliau kembali ke Sarang pada tahun 2004 M dengan semangat yang membara dan ide-ide yang brilian, beliau ikut membantu meningkatkan mutu pendidikan di Sarang, khususnya Ma'had Al Anwar tercinta. Saat ini beliau mengajar di kelas Muhadhoroh dengan fann ilmu Tarikh.
Biografi Gus Baha'
Al Mufassir Al Faqih Asy Syaikh AHMAD BAHAUDDIN NURSALIM An Narukani
Pernah pada sebuah kesempatan, Prof.Quraisy Syihab berkata,"sulit ditemukan orang yg sangat memahami dan hafal detail-detail Al Qur'an hingga detail-detail fiqh yang tersirat dalam ayat-ayat al Qur'an seperti pak Baha'...".Gus Baha', demikian beliau akrab dipanggil oleh santri-santrinya, adalah putra seorang Ulama' Ahli Al Qur'an, KH.Nursalim al Hafizh dari Desa Narukan Kragan Rembang, sebuah desa di pesisir utara pulau Jawa. KH.Nursalim adalah murid dari KH.Arwani al Hafizh, Kudus, dan KH.Abdullah Salam al Hafizh,Pati. Dari silsilah keluarga ayah beliau inilah, terhitung dari buyut beliau hingga generasi ke empat kini, merupakan Ulama'-ulama' ahli Qur'an yang handal. Silsilah keluarga dari garis Ibu beliau, merupakan silsilah keluarga besar ulama' Lasem, Bani mbah Abdurrahman Basyaiban atau mbah Sambu, yang pesareannya di area Masjid Jami' Lasem, sekitar setengah jam perjalanan dari pusat Kota Rembang.
Pendidikan Beliau
Gus Baha' kecil memulai menempuh gemblengan keilmuan dan hafalan al Qur'an di bawah asuhan langsung ayahnya.Hingga pada usia yang masih sangat belia, beliau telah mengkhatamkan hafalan al Qur'an beserta qiro'ahnya dengan lisensi yang ketat dari ayah beliau. Memang, karakteristik bacaan dari murid-murid mbah Arwani mengetrapkan ketetatan dalam tajwid dan makhorijul huruf (GB,Feb '13). Menginjak usia remaja, Kyai Nursalim menitipkan Gus Baha' untuk mondok dan berkhidmat kepada Syaikhina KH.Maimoen Zubair, di PP.Al Anwar Karangmangu Sarang Rembang, sekitar 10 Km arah timur Narukan.Di Al Anwar inilah beliau sangat terlihat menonjol dalam fan-fan ilmu Syari'at seperti Fiqih,Hadits,dan Tafsir.Hal ini terbukti dari beberapa amanat prestisius keilmiahan yang diemban oleh beliau selama mondok di Al Anwar, seperti Rois Fathul Mu'in, dan Ketua Ma'arif di jajaran kepengurusan PP.Al Anwar. Saat mondok di Al Anwar ini pula, beliau mengkhatamkan hafalan Shohih Muslim, lengkap dengan matan,rowi dan sanadnya.Selain Shohih Muslim, beliau juga mengkhatamkan hafalan kitab Fathul Mu'in dan kitab-kitab gramatika Arab seperti Imrithi dan Alfiyah Ibnu Malik. Menurut sebuah riwayat, dari sekian banyak hafalan beliau tersebut menjadikan beliau santri pertama al Anwar yang memegang rekor hafalan terbanyak di Era beliau. Bahkan, tiap-tiap musyawaroh yang akan beliau ikuti, akan serta merta ditolak oleh kawan-kawannya, sebab beliau dianggap tidak berada pada level santri pada umumnya, karena kedalaman ilmu,keluasan wawasan, dan banyaknya hafalan. Selain menonjol dengan keilmuannya, beliau juga sosok santri yang dekat dengan Kyainya. Dalam berbagai kesempatan, beliau sering mendampingi Guru beliau, Syaikhina Maimoen Zubair untuk berbagai keperluan, mulai dari sekedar berbincang santai, hingga urusan mencari ta'bir dan menerima tamu-tamu ulama'-ulama' besar yang berkunjung ke Al Anwar.Hingga beliau dijuluki sebagai santri kesayangan Syaikhina Maimoen Zubair. Pernah pada suatu ketika, beliau dipanggil untuk mencarikan ta'bir tentang suatu persoalan oleh Syaikhina.Karena sangking cepatnya ta'bir itu ditemukan tanpa membuka dahulu referensi kitab yang dimaksud, hingga Syaikhinapun terharu dan ngendikan,"iyo Ha', koe pancen cerdas tenan...".Selain itu, Gus Baha' juga kerap dijadikan contoh teladan oleh Syaikhina saat memberikan mawa'izh tentang profil santri ideal di berbagai kesempatan,"santri tenan iku yo koyo Baha' iku.." begitu kurang lebih ngendikan Syaikhina yg riwayatnya sampai kepada penulis.
Dalam riwayat pendidikan beliau, semenjak kecil hingga beliau mengasuh Pesantren warisan ayahnya sekarang, hanya mengenyam pendidikan dari 2 pesantren, yakni Pesantren ayahnya sendiri di desa Narukan, dan PP.Al Anwar Karangmangu. Pernah suatu ketika ayahnya menawarkan kepada beliau untuk mondok di Rushoifah atau Yaman, namun beliau lebih memilih untuk tetap di Indonesia, berkhidmat kepada almamaternya,Madrasah Ghozaliyah Syafi'iyyah,PP.Al Anwar,dan Pesantrennya sendiri,LP3IA.
Kepribadian Beliau
Setelah menyelesaikan pengembaraan ilmiyahnya di Sarang, beliau menikah dengan seorang Neng pilihan pamannya dari keluarga Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan. Ada cerita menarik saat beliau menikah. Diriwayatkan, setelah acara lamaran selesai, beliau menemui calon mertuanya dan mengutarakan sesuatu yang menjadi kenangan beliau hingga kini. Beliau utarakan, bahwa kehidupan beliau bukanlah model kehidupan yg galmour, dan bahkan sangat sederhana. Beliau berusaha meyakinkan calon mertuanya untuk berfikir ulang atas rencana pernikahan tersebuat, tentu maksud beliau "agar mertuanya tidak kecewa di kemudian hari".Mertuanya hanya tersenyum dan menyatakn "klop", alias sami mawon kalih kulo. Kesederhanaan beliau ini dibuktikan saat beliau berangkat menuju Sidogiri untuk melangsungkan upacara akad nikah yg telah ditentukan waktunya. Beliau berangkat sendiri ke Pasuruan dengan menumpang bus regular alias bus biasa kelas ekonomi, berangkat dari Pandangan menuju Surabaya, selanjutnya disambung bus kedua menuju Pasuruan. Kesederhanaan beliau bukanlah sebuah kebetulan, namun hal tersebut merupakan hasil didikan ayahnya semenjak kecil. Apakah keluarga beliau miskin, hingga harus hidup dengan sederhana? Sama sekali tidak! Dari silsilah keluarga beliau dari pihak ibu, atau lebih tepatnya lingkungan keluarga di mana beliau diasuh semenjak kecil, tiada satu keluargapun yang miskin. Bahkan kakek beliau dari jalur ibu,merupakan seorang juragan tanah di desanya. Saat dikonfirmasi oleh penulis, mengapa beliau lebih memilih hidup sederhana, beliau nyatakan bahwa hal tersebut merupakan karakter keluarga Qur'an yang dipegang erat sejak zaman leluhurnya.Bahkan salah satu wasiat dari ayah beliau, agar beliau menghindari keinginan untuk menjadi "manusia mulya" dari pandangan keumuman makhluk, atau lingkungannya. Hal inilah yang hingga kini mewarnai kepribadian dan warna kehidupan beliau sehari-hari.Semenjak setelah menikah, beliau mencoba hidup mandiri dengan keluarga baru beliau. Beliau tinggal dan menetap di Yogyakarta semenjak 2003. Selama di Yogyakarta, beliau menyewa rumah untuk ditempati keluarga kecil beliau, berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain.Semenjak beliau hijrah ke Yogyakarta, banyak dari santri-santri beliau di Karangmangu yang merasa kehilangan induknya. Hingga pada akhirnya mereka menyusul beliau ke Yogyakarta, dan urunan untuk menyewa rumah di dekat beliau, tiada tujuan lain, selain untuk tetap dapat ngaji kepada beliau. Terhitung ada sekitar 5 atau 7 santri mutakhorijin al Anwar maupun MGS yang ikut beliau ke Yogyakarta saat itu. Saat di Yogyakarta inilah kemudian banyak masyarakat sekitar beliau yang akhirnya minta ikut ngaji kepada beliau. Hingga pada tahun 2005, ayah beliau, KH.Nursalim jatuh sakit, dan beliau pulang sementara waktu untuk turut merawat beliau bersama ke empat saudaranya yang lain. Namun siapa sangka, semenjak saat itu dan setelah beberpa bulan kemudian Kyai Nursalim kapundut, Gus Baha' tidak dapat lagi meneruskan perjuangannya di Yogyakarta sebab beliau diamanahi oelh ayah beliau untuk melanjutkan tongkat estafet kepengasuhan di LP3IA Narukan. Banyak yang merasa kehilangan atas keputusan beliau ini, hingga pada akhirnya para santri beliaupun sowan dan meminta beliau kerso kembali ke Jogja. Hingga pada gilirannya beliau bersedia,namun hanya 1 bulan sekali dan hal itu berjalan hingga kini. Selain mengasuh pengajian, beliau juga mengabdikan dirinya di Lembaga Tafsir al Qur'an Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Reputasi Keilmuan Beliau
Selain Yogyakarta, beliau juga diminta untuk mengasuh pengajian Tafsir al Qur'an di Bojonegoro Jawa Timur. Jika Jogja di minggu terakhir, maka Bojonegoro di minggu kedua tiap bulannya. Hal ini beliau jalani secara rutin dari 2006 hingga kini.Di UII, beliau merupakan ketua Tim Lajnah Mushaf UII. Bersama timnya yang terdiri dari para Profesor, Doktor, dan ahli-ahli al Qur'an dari seantero Indonesia, seperti Prof.Dr.Quraisy Syihab, Prof.Zaini Dahlan, Prof.Shohib, dan para anggota Dewan Tafsir Nasional yg lain. Hingga suatu kali beliau ditawari gelar Doctor Honoris Causa dari UII, namun beliau tidak berkenan. Dalam jagad Tafsir al Qur'an di Indonesia, beliau termasuk pendatang baru, dan sama sekali satu-satunya anggota dari jajaran dewan tafsir nasional yg berlatar belakang pendidikan non formal dan non gelar.Meskipun demikian, ke'aliman dan penguasaan keilmuan beliau sangat diakui oleh para ahli Tafsir Nasional. Hingga suatu kesempatan pernah diungkapkan oleh Prof.Quraisy bahwa kedudukan beliau di dewan tafsir nasional selain sebagai "Mufassir" namun juga sebagai "Mufassir Faqih", karena penguasaan beliau pada ayat-ayat ahkam yang terkandung dalam al Qur'an. Setiap kali lajnah "menggarap" tafsir dan mushaf al Qur'an, posisi beliau selalu di 2 keahlian, yakni sebagai Mufassir seperti angota lajnah yang lain, juga sebagai Faqihul Qur'an, yang mempunyai tugas khusus menguari kandungan Fiqh dalam ayat-ayat ahkam al Qur'an.
Dr. KH. Abdul Ghofur Maimoen
Gus Ghofur, demikian Putra kelima KH. Maimoen Zubair dari istri kedua, Ibu Nyai HJ Masthi'ah, biasa dipanggil. Pemilik nama lengkap Abdul Ghofur ini dikenal bandel semasa kecilnya. Tidak seperti kakak-kakaknya, Ghofur kecil terhitung sering bermain seperti layaknya anak-anak di kampung nelayan. Namun, sebagai putra Ulama, sifat-sifat kesalehan yang ditanamkan orang tuanya, membuat ia berbeda dari anak kampung sebayanya.
Pendidikan dasar hingga menengah dituntaskannya di Madrasah Ghazaliyah Syafi'iyyah, Sarang, Rembang. Semasa belajar di Ghozaliyah, putra Mbah Moen yang sudah dikenal cerdas dan kritis sejak belia ini banyak meraih prestasi. Bintang Kelas dan Rais kelas, sebuah jabatan prestisius di lingkungan pesantren Sarang, hampir tidak pernah luput dari genggamannya.
Tidak hanya urusan pelajaran, di bidang organisasi pun prestasinya cukup mengkilap. Selama dua periode berturut-turut Ghofur remaja dipercaya sebagai ketua Demu MGS (OSIS-nya MGS).
Seabrek prestasi ditambah kedudukannya sebagai putra Ulama, tidak membuatnya angkuh, sombong dan dumeh (mentang-mentang). Memang demikian putra-putri Mbah Moen dididik. Untuk ukuran agagis dengan santri ribuan, putra-putri Mbah Moen relatif bersikap egaliter.
Usai menyelesaikan pendidikan di MGS tahun 1992, Gus Ghofur sempat membantu Abahnya mengajar di pondok dan mengomandai keamanan Pusat. Pada 1993 beliau melanjutkan studinya di Al-Azhar University, Kairo. Ini merupakan hal baru dalam tradisi pendidikan putra-putri Mbah Moen.
Di Kairo, kecerdasannya kembali menorehkan prestai mengkilap. Selama empat tahun menyelesaikan program S1 Usuhuludin jurusan Tafsir di Al-Azhar, semua ujian dilaluinya dengan nilai Jayiid Jiddan, sebuah prestai langka di kalangan mahasiswa Indonesia di Kairo. Materi Program S2 di jurusan yang sama selama dua tahun juga dilahap dengan hasil akhir Jayyid Jiddan.
Keberhasilan itu tidak lepas dari ketekunan dan kesabaran yang "tiba tiba" menjadi kebiasaan beliau selama belajar di Kairo. Ketika di MGS Sarang, beliau tidak termasuk orang yang rajin. Tetapi sejak di Kairo beliau bisa dan biasa menghabiskan waktu berjam-jam untuk memelototi kitab. Dan ketika ketekunan dan kesabaran itu dipadu dengan karunia Allah, kecerdasan, maka prestai akademik adalah sesuatu yang niscaya terjadi.
Tentang hal ini ada kawan yang bercerita, "Sing ngajari bahasa Inggris Gus Ghofur, ki, aku. Eh, pas ujian aku mung Jayyid Jiddan, Gus Ghofur malah mumtaz". Siapa yang tidak tahu kalau ketika pertama kali datang ke Kairo Gus Ghofur Awam bahasa Inggris. Namun ketekunan dan kesabarannya telah berhasil menjinakkan ujian bahasa Inggris di Al-Azhar.
Setelah melalui perjuangan yang melelahkan, pada 2002 gelar Master berhasil diraihnya. Dikatakan melelahkanm karena untuk mencapi gelar itu Gus Ghofur harus menulis tesis setebal 700 halaman dan harus mencantumkan banyak maraji'. Padahal tradisi menulis baru ia tekuni sejak tahun keempatnya di Kairo. Orang yang mengenal Ghofur kecil dan tidak mengikuti perkembangannya di Kairo pasti terheran-heran ketika googling "Abdul Ghofur Maimoen" di internet. Sebab hasil googlingitu akan menampilkan berbagai tulisan beliau yang pernah dimuat di dunia maya. Ya, dari Abdul Ghofur yang gagap tulis menjadi Abdul Ghofur yang produktif menulis.
Gus Ghofur mengakhiri masa lajangnya pada tahun 2003. Gadis yang beruntung dipersuntingnya adalah Nadia, putri KH Jirijis bin Ali Ma'shum Karpyak Yogyakarta. Dari perkawinannya beliau telah dikaruniai seorang putra bernama Nabil.
Kader NU Mesir Raih Gelar Doktor Tafsir dari Univ Al-Azhar
Desertasi setebal 1700 halaman dan terbagi menjadi 2 jilid ini disidangkan pada hari Sabtu (12/6) di Auditorium Abdul Halim Mahmud, Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar. Salah satu kader terbaik Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Mesir, Abdul Ghofur Maemun, kembali telah mengharumkan nama baik Indonesia dan menambah deretan peraih gelar Doktor di bidang ilmu tafsir. Ia lulus setelah dapat mempertahankan dari desertasinya yang berjudul Hasyiah Al-Syekh Zakaria Al-Anshary Ala Tafsir Al-Baidhawy, Min Awwal Surah Yusuf Ila Akhir Surah l-Sajdah dengan hasil yang mumtaz ma'a martabati syarafil ula (summa cumlaude) dari Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Yang menarik adalah prakata dan kutipan akhir sebelum pengukuhan gelar dari para guru besar dan tim penguji terhadap desertasi putra kiai kharismatik asal Sarang, Jawa Tengah, KH Maemun Zubair ini adalah "Syarah dan komentar yang ditulis Syeikh Abdul Ghofur ini lebih baik dari yang di tulis Syeikhul Islam, Syekh Zakaria al-Anshori". Sementara Rais Syuriyah PCNU Mesir Dr Fadlolan Musyaffa berkomentar "Ini sungguh luar biasa. Andai ada nilai di atas summa cumlaude, mungkin akan dianugerahkan pada sidang disertasi Gus Ghofur. Sayang, hasil itu sudah mentok paling atas," terangnya seusai acara. Desertasi setebal 1700 halaman dan terbagi menjadi 2 jilid ini disidangkan pada hari Sabtu (12/6) di Auditorium Abdul Halim Mahmud, Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar. Sebagai tim pengujinya adalah Prof Dr Muhammad Hasan Sabatan, guru besar Tafsir dan Ulumul Qur`an Fakultas Ushuluddin Kairo (penguji dari dalam), Prof Dr Ali Hasan Muhammad Sulaiman, guru besar Tafsir dan Ulumul Qur`an Fakultas Dirasat Islamiyyah Banin Kairo (Penguji dari Luar) dan dua pembimbing Prof Dr Sayid Mursi Ibrahim Al-Bayumi, Guru Besar Tafsir dan Ulumul Qur`an Fak.Ushuluddin Kairo dan Prof Dr Abdurrahman Muhammad Aly Uways, guru besar Tafsir dan Ulumul Qur`an Fak. Ushuluddin Kairo. Selain itu juga, sidang yang dimulai pukul 14.00 waktu setempat dihadiri sekitar seratusan lebih mahasiswa/i dan simpatisan baik warga Indonesia maupun Mesir.
30 Apr 2014
BROSUR PENDAFTARAN MAHASISWA BARU STAI AL-ANWAR TAHUN 2014-2015
YAYASAN AL ANWAR III
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
AL ANWAR SARANG
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
AL ANWAR SARANG
Salafiah, Ilmiah, Amaliah
Contak person:
-Ust. Ahmad Shofa, M.Pd.I ( 0852 2597 2858 )
-Ust. Ali Murtadlo, S.Sos ( 0852 3258 2480 )
_Ust. Shokhibun Ni’am, S.Pd.I ( 0813 2623 4643 )
Sekretariat :
STAI AL ANWAR
Jl. Raya Kalipang Sarang Rembang Jawa Tengah
Email : Staialanwar@gmail.com Blog : Staialanwar.blogspot.com
Sekilas STAI Al Anwar Sarang
Stai Al Anwar merupakan perguruan tinggi yang didirikan pada tahun 2011 oleh KH. Maimoen Zubair, pengasuh pondok pesantren. Al Anwar Sarang dengan tujuan mencetak para sarjana yang selain memiliki intelekualitas diakui secara formal juga memiliki kemampuan membaca dan dan memahami kitab-kitab salaf.
Pada awal pendirian, Stai Al Anwar membuka program studi Ilmu Al Qurán dan tafsir ( Ushuluddin). Karena animo masyarakat yang begitu besar maka pada tahun akademik 2013 mengajukan izin pembukaan prodi PGMI ( Tarbiah) dan Ekonomi Syari’ah ( Syariáh )
Keunggulan
Pilihan studi keislaman di Sarang Rembang yang merupakan kota santri memberikan jaminan tercapainya tujuan membentuk para sarjana penerus ulama salaf karena didukung adanya kultur ilmiah pondok pesantren Al anwar Sarang yang telah mengakar dan terbukti telah melahirkan para ulama di berbagai penjuru nusantara .
Program Studi
1. USHULUDDIN- Ilmu Al Qurán dan tafsir
2. TARBIYAH- Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah / PGMI ( Proses Perizinan )
3. SYARIÄH- Ekonomi Syariáh ( Proses Perizinan )
Tenaga Pengajar
Dosen pengajar Stai Al Anwar Sarang adalah S1, S2, S3 lulusan berbagai perguruan tinggi terkemuka baik dari dalam maupun luar serta adanya tenaga ahli pembimbing kemampuan membaca kitab salaf dan tahfidz Al Qurán dari lulusan PP. Al Anwar Sarang
Fasilitas
1. Lokasi Kampus yang mudah terjangkau, berada di jalur pantura
2. Gedung yang representatif dan memadai
3. Ruang Kuliah yang dilengkapi sarana multimedia
4. Perpustakaan
5. Hotspot Area
6. Pesantren Mahasiswa ( PP. Al Anwar 3 )
Syarat Pendaftaran
1. Lulusan SMA/MA ( SLTA/sederajat )
2. Membayar biaya pendaftaran Rp. 100.000
3. Mengisi Formulir pendaftaran dengan dilampiri:
- Foto Copi Ijazah SLTA/sederajat dan tanskrip nilai dilegalisir sebanyak 3 lembar
- Pas Foto Berwarna background warna biru
3x4 : 2 lembar
2x3 : 2 lembar
Proses Pendaftaran
Bagi Calon mahasiswa yang dinyatakan lulus tes Seleksi diharuskan melakukan registrasi dengan agenda :
1. Melengkapi persyaratan administrasi
2. Pemotretan
3. Pengukuran jas almamater
4. Mengikuti kegiatan prakuliah ( Balagh Ramadlan )
Nb: Untuk lebih jelasnya hubungi autor di facebook
Langganan:
Postingan
(
Atom
)